Minggu, 27 April 2014

Mengampuni Masa Lalu



                Rintik hujan turun tanpa permisi, meninggalkan butiran jejak di jendala kamar Adila. Langit seakan sehati dengannya, suram dan gelap. Akhir pekan ini dia habiskan hanya untuk mengurung diri di kamar, merenungkan kisahnya yang begitu menyedihkan. Membuatnya mengabaikan tugas-tugas sekolah yang menuntut diselesaikan. Sesekali dia membuka album foto hijau tosca yang sampulnya dihiasi motif polkadot merah muda, di tengah sampul bertuliskan “Kita A&A” album itu menyimpan begitu banyak kenangan tentang seseorang di masa lalunya. Dadanya terasa sesak saat dia tersadar, kini hanya gambar dua dimensi itu yang bisa menemaninya.
                Sejak kejadian itu dia lebih senang menyendiri. Berusaha menutup diri kepada siapa-pun. Toh, baginya tak ada gunanya membagi cerita dengan mereka yang tak mengerti. Kejadian itu bagai malapetaka yang tega merebut kebahagiannya. Menghapuskan senyum di wajahnya, melayukan bunga-bunga yang bermekaran di hatinya. Kadang dia ingin berontak, mengapa takdirnya harus semenyakitkan ini. Tak ada lagi benci di hatinya seperti setahun yang lalu. Tapi kecewa dan marah masih enggan lepas darinya. Dia kecewa pada scenario hidupnya yang tak sesuai dengan harapan.
                Hati kecilnya selalu memerintahkan untuk tidak berlarut-larut dikesedihan. Tapi apa daya, benteng besar masih mengalangi jalannya. Membiarkannya terperangkap di labirin memusingkan. Jujur saja, sebenarnya dia sendiri merindukan Adila yang dulu, merindukan dirinya yang selalu tampak ceria.
                Seperti ditikam pisau jika kenangan buruk itu datang menghantui. Sakitnya luar biasa sakit. Ketika sahabat yang telah dia anggap saudara tega merebut kekasih hatinya.

Tok…tok…tok” *suara ketukan pintu menyadarkannya dari lamunan panjangnya.

Siapa ?

Ini bibi Non, di bawah ada teman Non Adila, katanya mau ketemu dengan Non.

Teman ? Siapa ?” tanyanya penuh heran.

“Wah, bibi juga lupa nanya namanya, tapi dia laki-laki Non, ganteng banget. Bibi udah nyuruh nunggu di ruang tamu.”

“Hush bibi, yaudah bibi turun duluan, 5 menit lagi aku nyusul ke bawah.”

“Oke Non.”
-Mengampuni Masa Lalu-
                Seribu Tanya menghujani dirinya sekarang. Teman ? Teman yang mana ? Dia tidak pernah merasa benar-benar memiliki teman. Setiap langkah selalu menimbulkan pertanyaan baru yang membuatnya semakin bingung.
                Tampak belakang, sosok itu terasa tak asing buatnya. Dia mencoba menerka-nerka siapa pemuda yang mengaku-ngaku jadi temannya ini. Belum sempat melanjutkan langkah pemuda itu berbalik. Sontak membuatnya kaget bukan main. Tubuhnya kaku, seakan-akan dia sedang berada di Kutub Utara. Air matanya tak terbendung lagi. Dia dihujani seriubu macam rasa.

“Dil, kamu kenapa ?” Tanya pemuda itu prihatin. Namun Adila tak menjawab pertanyaannya.
Pemuda itu ternyata seseorang di masa lalunya.

“Adila, saya tahu kehadiran saya yang tiba-tiba pasti membuatmu kaget. Saya tahu kamu pasti marah sama saya. Alasan itulah yang membawa saya ke sini, yang membuat saya memberanikan diri menemuimu.”

“Kamu baru sadar setelah setahun ? Kenapa kamu baru berani sekarang ? Berapa lama waktu yang kamu habiskan untuk mengumpulkan keberanian ?” Tanyanya terisak-isak.

“Maafin saya, Dil. Saya merasa manusia paling berdosa, sangat terlambat memang jika saya baru meminta maaf. Saya hanya ingin menebus dosa saya sekarang.”

“Kamu pulang sekarang, yah..” Pintanya dingin namun terkesan lembut.

“Dil, saya mohon maafin saya.”

“Apa kamu ngga ngerasa aku begini karena siapa ? Aku tersiksa Nan, setahun aku habisin cuma untuk mengasihani diriku sendiri. Setahun aku habisin cuma untuk menyesali semuanya. Setahun aku habisin cuma untuk berusaha lupain kamu, lupain kejadian itu. Setahun aku tersiksa karena rindu, sakit hati, dan kecewa. Dan sekarang ? Kamu bikin aku makin tersiksa.”

“Saya minta maaf, Dil. Maafin saya, yah. Saya ngga tahu lagi harus ngapain. Setahun juga saya diselimuti rasa bersalah.”

“Kamu pulang sekarang.”

“Tapi, Dil….”

“Aku mohon Nan. Apa aku kurang tegas menyuruhmu pergi ? Baiklah, Adnan, aku memohon dengan hormat angkat kaki dari rumahku ! Seharusnya kamu ngga usah kembali ! seharusnya kamu menghabiskan waktu saja dengan mantan sahabatku yang membuatmu menelantarkanku ! Kamu jangan khawatir Nan, aku mungkin masih marah sama kamu, masih kecewa sama kamu, tapi aku selalu berusaha maafin  kamu. Jadi pergi yah sekarang.”

“Jika pergi jadi jalan terbaik untuk saya, maka saya akan pergi sesuai permintaanmu. Makasih Dil udah mau berusaha maafin saya, saya janji ngga akan pernah lagi nunjukin batang hidung saya di depan kamu. Kamu jaga diri, yah.”

                Kalimat terakhir itu mengakhiri pertemuan penuh kejutan bagi Adila. Sekuat tenaga dia berlari menuju kamarnya. Menangis sejadi-jadinya. “Bagaimana mungkin dia muncul kembali ? Bagaimana mungkin dia merusak hidupku lagi ? Bagaimana mungkin Tuhan ? Mengapa Kau biarkan dia ? Sakitku sudah terlalu parah, mengapa kau tambah ?” Protesnya dalam hati.

-Mengampuni Masa Lalu-
                Ada hal melegakan setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Mendengar permintaan maaf dari Adnan membuatnya sedikit membaik, walaupun awalnya dia sempat tak bisa menerima kenyataan.
                Ternyata yang selama ini dia butuhkan untuk bisa terbebas dari jerat menyedihkan itu hanyalah permintaan maaf dari seseorang yang sempat menyakitinya.
                Perlahan-lahan dia mulai berjalan menyelesaikan labirin yang memusingkan. Menghancurkan benteng yang menahan langkahnya. Perlahan-lahan dia mulai mengampuni masa lalunya, mengubur segala rasa sakit, mengobati luka hati, menanam kembali bunga-bunga yang sempat layu, menggambar senyum yang pernah terhapus.

Senin, 21 April 2014

Diperbudak Perasaan

Saya merasa seperti manusia paling tolol di dunia.
Terombang-ambing dalam ketidak-jelasan perasaan sendiri.
Tenggelam dalam lautan penuh tanya yang membingungkan.
Tersembunyi di balik awan pekat yang menghujani perasaan aneh.
Terkurung dalam ego yang perlahan menjatuhkan saya ke jurang yang begitu dalam.
Diperbudak perasaan
Makhluk tolol yang begitu lemah. Seakan-akan telah pasrah dengan takdir yang bisa saja membunuhnya.
Makhluk tolol yang membiarkan dirinya dipermainkan perasaan.
Makhluk tolol yang kadang tak bisa menyeimbangkan logika dengan perasaan. Membiarkan perasaan merajainya, dan melumpuhkan otaknya untuk berpikir rasional.
Diperbudak perasaan
Setengah hati bertekad berbalik, lari menemui masa lalu. Setengah yang tersisa memerintahkan, agar tak pernah menengok ke belakang.
Setengah hati berharap agar bisa kembali. Setengah yang tersisa seakan menyadarkan waktu tidak mungkin terulang.
Setengah hati terperangkap dalam penyesalan. Setengah yang tersisa seperti meneriakkan kalimat "Menyesal tak merubah keadaan !".
Setengah hati berniat melupakan yang telah lalu. Setengah yang tersisa tak benar-benar bisa melaksanakan niat.
Diperbudak perasaan
Terperangkap dalam seribu rasa bimbang.

Minggu, 20 April 2014

Nijuu !!! Makam's Day


Hey yooo ! 20 yang ke-13 ! :D
Keep solid yah kita walau kenyataannya kita berempat sudah disibukkan dengan kegiatan masing-masing dan sudah jarang ngumpul di grup.
Rindu sih dengan kebersamaan kita yang dulu waktu masih sering ngumpul di grup, entah itu sekedar cerita-cerita gak jelas, curhat-curhatan alay, atau main Truth or Dare yang sukses bikin jari pegal-pegal akibat ngetik hahahaha but, it's so fun and I really miss that moment. u,u
Sudah 13 bulan yah, gak kerasa hehehe. Bersyukur bisa jadi bagian dari kalian. Walaupun tidak bisa dipungkiri kalian sering menyebalkan, menjengkelkan atau apalah itu. -_-
Bersyukur bisa jadi teman dekat kalian bertiga. Bersyukur karena kalian masih mau berbagai cerita satu sama lain. :)



I love you manusia-manusia menyebalkan xoxoxo XD


Sabtu, 19 April 2014


Diabaikan oleh seorang pengabai
yang mengabaikan pahitnya pengabaian.

ARA

Miss the moment in the PAST

Dulu sekali..
Sejak saat itu, selalu ada semangat untuk bangun dan berangkat ke sekolah. Kamu, bisa ku pastikan alasannya adalah kamu, aku juga tak tahu pasti kapan aku menjadikanmu alasan.
Aku begitu mencintai malam namun aku selalu tak sabar bertemu pagi. Alasannya karenamu, lagi-lagi karenamu.
Aku rindu teriakan teman-teman kelasmu menyebut namaku ketika aku berlalu di depan kalian.
Aku rindu dengan teman-teman kelasmu yang menjadikan kita bahan ejekan. Walaupun menyebalkan, tak bisa ku pungkiri aku bahagia.
Aku rindu dengan "CIE" teman-teman kelasmu tentang kita.
Aku rindu sahutan teman-teman kelasmu ketika aku berjalan menuju kelas.
Aku rindu melihatmu dari belakang ketika kau berjalan memasuki gerbang sekolah.
Aku rindu dengan senyuman manismu itu.
Aku rindu denganmu yang setiap jam istirahat nongkrong di depan kelasku.
Aku rindu saat pertama kali kau menyatakan perasaanmu.
Aku rindu dengan pesan-pesan singkatmu yang selalu menghampiri inbox ku.
Aku rindu dengan perhatian-perhatian kecil yang kau bagi tanpa pamrih untukku.
Aku rindu dengan ucapan selamat pagi, siang, dan malam darimu.
Aku rindu saat kau selalu mengingatkanku waktu shalat.
Aku rindu dengan suaramu meski hanya lewat telefon.
Aku rindu dengan sosokmu yang pernah mengisi hatiku dalam kurun waktu yang begitu singkat.
Aku rindu denganmu yang pernah ada seperti 2 tahun yang lalu.

Rabu, 16 April 2014

Tak Mampu, Tapi Harus

Hal menyakitkan adalah ketika bibir ini dipaksa untuk berkata "Selamat Tinggal" saat hati tak mampu menahan sakitnya.

Hal menyedihkan adalah ketika diri ini dipaksa untuk berpisah dengan seseorang yang begitu berarti saat raga ini belum mampu melepasnya.

Dan hal menyebalkan adalah ketika kau dipaksa melakukan keduanya.

Minggu, 13 April 2014

Membayar Rindu


Hari ini aku berkunjung ke tempatmu, tempat yang telah bertahun-tahun menjadi rumah terakhirmu.
Setelah 9 tahun lamanya kau pergi, selama itu pula aku tidak bisa melihat wajahmu lagi.
Banyak sekali hal yang ku rindukan darimu. Matamu ketika kau memandangku, suaramu ketika kau dendangkan lagu atau sekedar menceritakan dongeng-dongeng untukku, serta belaian lembut tanganmu mengusap rambutku. Ketika kau pergi aku masih anak ingusan yang belum mengerti apa-apa. Terlalu cepat semuanya untuk aku mengerti keadaan saat itu.
Tak hanya ke tempatmu, aku juga berkunjung ke tempat seseorang yang begitu berarti buatmu, seseorang yang setia menemanimu, Kakek. Aku memang tak pernah sekalipun melihat wajahnya secara langsung, karena dia lebih dulu menutup mata sebelum aku membuka mata, tapi aku punya sedikit gambaran tentangnya, sebuah foto yang dipajang di lemari rumah, dan juga cerita-cerita keluarga tentangnya, dia adalah laki-laki hebat, berwibawa, keras, namun penuh cinta.
Meski kasihnya tak pernah sampai secara nyata seperti kau memberikan kasihmu kepadaku, aku tetap mencintainya, seperti aku mencintaimu. :)
Ada rindu yang terbayar ketika mataku memandang nisanmu, walau bukan lagi sosokmu yang ku temui seperti 9 tahun yang lalu aku tetap bersyukur.
Kukirimkan doa terindah untukmu, berharap kau tenang dan nyaman di rumah terakhirmu.
Al-Fatihah

Kamis, 10 April 2014

Pengabaian


Siksa batin jauh lebih menyakitkan dibanding siksa fisik. Pengabaian salah satunya.

Ketika kehadiran saya ditiadakan, ketika suara lantang saya tak didengarkan, ketika tawa dan air mata saya tak dihiraukan. Itu menyakitkan.

Tapi, saya bisa apa ? Protes ? Meronta-ronta ? Berontak ? Bagaimana mungkin saya melakukannya saat sosokku saja tak dianggap ada.

Pengabaian. Hanya aura menyakitkan yang ada dikata itu. Mana ada orang yang ingin diabaikan ? Mana ada orang yang ingin dianggap tiada bagaikan tubuh tanpa roh ? Mana ada ?! Jika ada, tunjukkan pada saya, dan akan saya perlihatkan padanya sakit karena pengabaian !

I'm just an ordinary human


Perlu kau garis bawahi

Aku bukan Tuhan yang Maha Pengampun

Aku hanyalah manusia biasa, yang bisa rapuh kapan saja

Aku bukan Tuhan yang selalu memberi maaf untuk setiap umatnya

Aku hanyalah manusia penuh dendam, ketika kau seenaknya menyakiti yang tak kasat mata

Senin, 07 April 2014

Andai

Andai bisa meminta..
Aku benar-benar ingin kau kembali. Mengulang semuanya, mengulang masa itu.

Andai bisa meminta..
Aku ingin kau tetap disini. Menempati ruang kosong yang ku sediakan untukmu.

Andai bisa meminta..
Aku ingin menghabiskan waktu denganmu, tanpa canggung.

Andai bisa meminta..
Aku mengingkan kamu yang dulu, yang selalu ada.

Andai bisa meminta..
Aku ingin kita yang seperti dulu, saling mengisi satu sama lain.

Andai bisa meminta..
Aku ingin, kau berbalik menemuiku.

Andai bisa meminta..
Aku hanya ingin kau untukku.

Kamis, 03 April 2014

Regret

"Karena pernah kamu sukai, aku jadi sulit untuk merasa orang lain benar-benar menykaiku". - You're The Apple Of My Eye

Entah kata apa lagi yang bisa ku tulis untuk menggambarkan sosokmu. Satu yang ku tahu, kamu (masih) spesial di hatiku.
Banyak orang yang ku jumpai setelah aku dan kamu bukan "kita" lagi, tapi aku tak pernah menemukan sosok yang sepertimu. Sosok yang berhasil membuatku terperangkap dan tak menemukan cela untuk terbebas.
Sejak ku ucap kalimat perpisahan itu, sampai detik ini aku belum bisa memaafkan sebagian dari diriku. Padahal kejadian itu hampir dua tahun yang lalu. Aku menyesal. Sungguh menyesal. Benar-benar menyesal. Andai aku tak pernah mengucapkan kalimat itu.
Aku terus mencoba menyakinkan diriku bahwa waktu takkan bisa terulang, tapi hati kecilku tak bisa berbohong, aku masih berharap. Berharap kau kembali.
Munafik. Pengecut. Pencundang. Tolol. Itu aku.
Seperti kutipan film You're The Apple Of My Eye yang ku tulis di baris pertama, aku terlalu sulit melepaskan jerat dari bayangmu hingga kehadiran sosok-sosok yang lain tak (terlalu) berarti apa-apa bagiku. Sebesar bagaimana-pun usahaku untuk meyukai dan merasa disukai selalu saja terkesan sia-sia. Ini semua karena mu, karena sosokmu yang spesial itu.


Lan12




Selasa, 01 April 2014

Yang Pergi Selalu Meninggalkan Cerita




Betapapun kau membencinya sekarang, setidaknya dulu kau pernah menyukainya.
Betapapun dia menyakitimu sekarang, setidaknya dulu dia pernah menjadi alasan bahagiamu.
Betapapun kau tidak mengharapkan kehadirannya lagi sekarang, setidaknya dulu kau pernah resah ketika sehari tak diberi kabar olehnya.
Betapapun dia melukaimu sekarang, setidaknya dulu dia sempat menjadi pengobat lukamu.
Betapapun tangismu karenanya sekarang, setidaknya dulu kau juga pernah tertawa karenanya.
Betapapun dia bagaikan awan gelap sekarang, setidaknya dulu dia pernah menjadi pelangi untuk hidupmu.
Betapapun pahit yang kau rasa sekarang, setidaknya dulu kau pernah merasakan manis dengannya.
Betapapun sekarang, setidaknya dia pernah ada untukmu.
Betapapun dia pergi, setidaknya dia meninggalkan satu hal untukmu, cerita. 
Cerita yang tak mungkin bisa kau dapatkan di orang lain. Cerita yang tak pernah ada samanya. Cerita yang khusus dia bagi hanya untukmu.


Ku harap aku

Hebat sekali orang-orang yang memilih berdamai Tidak memaksa namun terus mengusahakan pelan-pelan Jika butuh menangis, dia menangis Jika but...