Rintik hujan turun tanpa
permisi, meninggalkan butiran jejak di jendala kamar Adila. Langit seakan
sehati dengannya, suram dan gelap. Akhir pekan ini dia habiskan hanya untuk
mengurung diri di kamar, merenungkan kisahnya yang begitu menyedihkan.
Membuatnya mengabaikan tugas-tugas sekolah yang menuntut diselesaikan. Sesekali
dia membuka album foto hijau tosca yang sampulnya dihiasi motif polkadot merah
muda, di tengah sampul bertuliskan “Kita A&A” album itu menyimpan begitu
banyak kenangan tentang seseorang di masa lalunya. Dadanya terasa sesak saat
dia tersadar, kini hanya gambar dua dimensi itu yang bisa menemaninya.
Sejak kejadian itu dia lebih
senang menyendiri. Berusaha menutup diri kepada siapa-pun. Toh, baginya tak ada
gunanya membagi cerita dengan mereka yang tak mengerti. Kejadian itu bagai
malapetaka yang tega merebut kebahagiannya. Menghapuskan senyum di wajahnya,
melayukan bunga-bunga yang bermekaran di hatinya. Kadang dia ingin berontak,
mengapa takdirnya harus semenyakitkan ini. Tak ada lagi benci di hatinya
seperti setahun yang lalu. Tapi kecewa dan marah masih enggan lepas darinya.
Dia kecewa pada scenario hidupnya yang tak sesuai dengan harapan.
Hati kecilnya selalu
memerintahkan untuk tidak berlarut-larut dikesedihan. Tapi apa daya, benteng
besar masih mengalangi jalannya. Membiarkannya terperangkap di labirin
memusingkan. Jujur saja, sebenarnya dia sendiri merindukan Adila yang dulu,
merindukan dirinya yang selalu tampak ceria.
Seperti ditikam pisau jika
kenangan buruk itu datang menghantui. Sakitnya luar biasa sakit. Ketika sahabat
yang telah dia anggap saudara tega merebut kekasih hatinya.
“Tok…tok…tok” *suara ketukan pintu
menyadarkannya dari lamunan panjangnya.
“Siapa ?”
“Ini bibi Non, di bawah ada teman Non Adila,
katanya mau ketemu dengan Non.”
“Teman ? Siapa ?” tanyanya penuh heran.
“Wah, bibi juga lupa nanya namanya, tapi dia
laki-laki Non, ganteng banget. Bibi udah nyuruh nunggu di ruang tamu.”
“Hush bibi, yaudah bibi turun duluan, 5 menit
lagi aku nyusul ke bawah.”
“Oke Non.”
-Mengampuni
Masa Lalu-
Seribu Tanya menghujani dirinya
sekarang. Teman ? Teman yang mana ? Dia tidak pernah merasa benar-benar
memiliki teman. Setiap langkah selalu menimbulkan pertanyaan baru yang
membuatnya semakin bingung.
Tampak belakang, sosok itu
terasa tak asing buatnya. Dia mencoba menerka-nerka siapa pemuda yang
mengaku-ngaku jadi temannya ini. Belum sempat melanjutkan langkah pemuda itu
berbalik. Sontak membuatnya kaget bukan main. Tubuhnya kaku, seakan-akan dia
sedang berada di Kutub Utara. Air matanya tak terbendung lagi. Dia dihujani
seriubu macam rasa.
“Dil, kamu kenapa ?” Tanya
pemuda itu prihatin. Namun Adila tak menjawab pertanyaannya.
Pemuda itu
ternyata seseorang di masa lalunya.
“Adila, saya tahu kehadiran saya yang tiba-tiba pasti membuatmu kaget. Saya tahu kamu pasti marah sama saya. Alasan itulah yang
membawa saya ke sini, yang membuat saya memberanikan diri menemuimu.”
“Kamu baru sadar setelah setahun ? Kenapa kamu
baru berani sekarang ? Berapa lama waktu yang kamu habiskan untuk mengumpulkan
keberanian ?” Tanyanya terisak-isak.
“Maafin saya, Dil. Saya merasa manusia paling
berdosa, sangat terlambat memang jika saya baru meminta maaf. Saya hanya ingin
menebus dosa saya sekarang.”
“Kamu pulang sekarang, yah..” Pintanya
dingin namun terkesan lembut.
“Dil, saya mohon maafin saya.”
“Apa kamu ngga ngerasa aku begini karena siapa
? Aku tersiksa Nan, setahun aku habisin cuma untuk mengasihani diriku sendiri.
Setahun aku habisin cuma untuk menyesali semuanya. Setahun aku habisin cuma
untuk berusaha lupain kamu, lupain kejadian itu. Setahun aku tersiksa karena
rindu, sakit hati, dan kecewa. Dan sekarang ? Kamu bikin aku makin tersiksa.”
“Saya minta maaf, Dil. Maafin saya, yah. Saya
ngga tahu lagi harus ngapain. Setahun juga saya diselimuti rasa bersalah.”
“Kamu pulang sekarang.”
“Tapi, Dil….”
“Aku mohon Nan. Apa aku kurang tegas
menyuruhmu pergi ? Baiklah, Adnan, aku memohon dengan hormat angkat kaki dari
rumahku ! Seharusnya kamu ngga usah kembali ! seharusnya kamu menghabiskan
waktu saja dengan mantan sahabatku yang membuatmu menelantarkanku ! Kamu jangan
khawatir Nan, aku mungkin masih marah sama kamu, masih kecewa sama kamu, tapi
aku selalu berusaha maafin kamu. Jadi
pergi yah sekarang.”
“Jika pergi jadi jalan terbaik untuk saya,
maka saya akan pergi sesuai permintaanmu. Makasih Dil udah mau berusaha maafin
saya, saya janji ngga akan pernah lagi nunjukin batang hidung saya di depan
kamu. Kamu jaga diri, yah.”
Kalimat terakhir itu mengakhiri
pertemuan penuh kejutan bagi Adila. Sekuat tenaga dia berlari menuju kamarnya.
Menangis sejadi-jadinya. “Bagaimana
mungkin dia muncul kembali ? Bagaimana mungkin dia merusak hidupku lagi ?
Bagaimana mungkin Tuhan ? Mengapa Kau biarkan dia ? Sakitku sudah terlalu
parah, mengapa kau tambah ?” Protesnya dalam hati.
-Mengampuni
Masa Lalu-
Ada hal melegakan setelah
kejadian beberapa hari yang lalu. Mendengar permintaan maaf dari Adnan
membuatnya sedikit membaik, walaupun awalnya dia sempat tak bisa menerima
kenyataan.
Ternyata yang selama ini dia
butuhkan untuk bisa terbebas dari jerat menyedihkan itu hanyalah permintaan
maaf dari seseorang yang sempat menyakitinya.
Perlahan-lahan dia mulai
berjalan menyelesaikan labirin yang memusingkan. Menghancurkan benteng yang
menahan langkahnya. Perlahan-lahan dia mulai mengampuni masa lalunya, mengubur
segala rasa sakit, mengobati luka hati, menanam kembali bunga-bunga yang sempat
layu, menggambar senyum yang pernah terhapus.