Senin, 11 Juni 2018

Tidak Ada Judul

Beberapa minggu yang lalu (mungkin sudah bulan), seseorang di masa lalu menghubungiku.
Entah apa tujuannya, hanya dia dan Tuhan-Nya yang tahu.

Dia bilang, aku terlalu sensitif, Bung, masalahnya adalah aku tidak tahu harus menghadapimu dengan sikap seperti apa.
Jika kau mungkin cukup bijak bila dihadapkan dengan situasi seperti itu, lain halnya denganku. 
Aku ini sulit lupa. Ku rasa kau sudah tahu hal itu, aku sudah sering menyebutnya di tulisanku yang lain. 
Bahkan mungkin bila semuanya berlalu bertahun-tahun, apa yang kau lakukan dulu, masih kekal di ingatanku.
Aku bahkan masih ingat di bangku mana aku menangis saat pertemuan terakhir kita.
Aku bahkan masih ingat perasaanku saat pertama kali kau memilih mengakhiri semuanya.

Dan sekarang, kau bilang aku egois.
Hahaha rasanya aku ingin mengucapkan sumpah serapah.
Egois bagaimana yang kau maksud, Bung ?
Bukannya kau yang memilih pergi dengan dia ?
Bukannya kau yang memutuskan semua pertemanan kita di sosial media ? 
Jujur, pertama kali ku tahu kau menghapusku dari daftar pertemananmu, aku hanya memikirkan satu hal, kau terlalu kekanak-kanakan.
Bung, sejak tiga tahun yang lalu, berkatmu, aku menjadi sulit untuk percaya, kau meninggalkan trauma yang entah bagaimana cara menyembuhkannya.
Tapi dengan mudahnya kau menyebutku egois. Sungguh, itu di luar dugaanku.

Tidakkah kau sadar, di sini, aku yang paling tersiksa.
Ketika kau dengan mudah memulai cerita baru dengan orang baru, aku justru masih dihantui rasa takut untuk memulai kembali.
Aku takut mereka yang datang akan sama sepertimu (meski sebenarnya aku tahu, semua orang pasti berbeda, namun tetap saja, aku terlalu takut).

Bung, aku telah mengusahakan semuanya.
Aku mencoba menghapus amarahku, aku mencoba mengikhlaskan kisah kita, aku mencoba berdamai dengan kau dan kenangan kita, tapi hadirmu justru membuatku berada disituasi yang jauh lebih sulit.

Bung, aku selalu mencoba memaafkan masa lalu, sesering ingatan buruk itu datang, sesering itu pula ku coba untuk berdamai.

Maka bantulah aku, cukup untuk tidak pernah kembali (entah 'sebagai' apapun) maka aku akan sangat berterima kasih.

Minggu, 27 Mei 2018

Cukup, Mari Kita Selesaikan

Ah, bung.
Ku pikir tulisan yang kemarin adalah yang terakhir, rupanya masih ada yang harus ku sampaikan.

Aku pernah membaca sebuah kalimat, kira-kira seperti ini isi kalimatnya,
"Ketika kau telah memutuskan untuk pergi, kau tidak punya alasan lagi untuk kembali".
Dan ku rasa, aku setuju.
Kau yang memilih mengakhiri kita, ku harap kau cukup tahu diri.
Aku bukan benci, hanya saja rasanya terlalu memuakkan melihatmu kembali seakan-akan dulu kita berakhir dengan baik.

Bung,
Ku tegaskan, aku bukan benci.
Aku hanya tidak tahu (atau bahkan memilih untuk tidak mau tahu) bagaimana cara yang tepat untuk menyambutmu.

Bung,
Mari kita jalani saja apa yang telah kita jalani sejak hari itu.
Mari kita berjalan di jalan kita masing-masing seperti yang sudah-sudah.

Bung,
Jangan lupa berbahagia.

Mari mengusahakan kita tidak akan pernah lagi terlibat dalam hal apapun.



Sabtu, 13 Januari 2018

Atas Nama Kemanusiaan

Beberapa bulan yang lalu, sekitar jam 8 wita saya memesan gocar untuk pulang, saya tidak sendiri, ada teman yang menemani.
Beberapa menit setelah memesan, si bapak datang menjemput.
Awalnya kami tidak membuka obrolan apa-apa, lalu kemudian beliau bertanya kami dari fakultas apa, yang dijawab oleh teman saya "Kedokteran gigi, Pak". Kemudian kembali hening.
Mendekati tujuan beliau kembali membuka obrolan, rupanya beliau tertarik membahas bidang kami. Beliau mengajak kami bertukar pikiran, beliau sangat berhati-hati dalam menyampaikan pendapatnya, topiknya sedikit sensitif, setiap berbicara beliau selalu mengawali dengan "mohon maaf yah dek" jaga-jaga agar kami tidak tersinggung.
Salah satu pertanyaan beliau, mengapa masyarakat harus memeriksakan giginya di dokter gigi yang biayanya bisa dibilang memang tidak murah.
Beliau juga menceritakan pengalamannya yang secara pribadi lebih memilih berobat ke tukang gigi dibanding dokter gigi karena alasan tersebut.
Jujur, saya sedikit sedih mendengar cerita beliau. Tersirat seperti "tidak ada gunanya sekolah kedokteran gigi, toh masyarakat juga akan lari ke tukang gigi".
Saya yang sedari tadi hanya menjadi pendengar, memilih membuka suara, saya merasa 'perlu' menjawab pertanyaan beliau, "Karena kami sekolahnya tidak murah, Pak. Belum lagi alat-alat kedokteran gigi sebagian besar diimpor dari luar. Selama kuliah banyak hal yang harus dikorbankan, materi dan tenaga sudah tidak terhitung." perlu dicatat, saya menjawab pertanyaan beliau dengan tawa, saya berusaha sesantai mungkin.
Namun beliau menanggapi dengan serius "Mohon maaf yah dek, maaf kalau tersinggung, tapi jujur saya paling tidak suka dengan tenaga kesehatan yang bawa-bawa materi, apa-apa uang. Ini kan atas nama kemanusiaan, kenapa tidak digratiskan saja".
Saya yang mendengar respon beliau, meski telah diawali permohonan maaf, jujur merasa sedikit tersinggung, namun saya memilih untuk tidak menjawab apa-apa, walaupun sebenarnya ingin meledak karena merasa digampangkan. Hahaha :')
Jadi saya memilih menjawabnya di tulisan saya saja.

Jika "atas nama kemanusiaan" mengapa tidak semua hal di dunia digratiskan saja ?
Mengapa hanya kami si tenaga kesehatan yang bekerja untuk menyehatkan manusia lain, yang sewaktu-waktu bisa ikut tertular penyakit, yang jam kerjanya gila-gilaan, yang istirahatnya harus dikorbankan demi menyelamatkan pasien di meja operasi, yang waktu mudanya dihabiskan dengan belajar memahami istilah-istilah medis yang rumit hingga rasanya ingin gila, seakan menjadi hal yang tabu ketika berbicara soal materi ?
Bukankah si tenaga kesehatan juga manusia ?
Yang juga butuh uang untuk bisa melanjutkan hidupnya.
Mengapa hanya tenaga kesehatan yang hanya boleh dilemparkan tuduhan "atas nama kemanusiaan" ?
Jika memang atas nama kemanusiaan, biarkan semua orang bersekolah tanpa mengeluarkan sepeser pun.
Gratiskan transportasi kemana pun ingin pergi.
Apapun yang diinginkan, bolehkan mengambilnya dengan gratis.
Atas nama kemanusiaan.

-Annisa R. Achmadi-

Maafkan jika mungkin tulisan saya terlalu kasar.

Ku harap aku

Hebat sekali orang-orang yang memilih berdamai Tidak memaksa namun terus mengusahakan pelan-pelan Jika butuh menangis, dia menangis Jika but...